Sunday, September 26, 2010

HUKUM SOLAT JUM'AAT PADA HARI RAYA (IDUL FITRI/ADHA)

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

1. Pendahuluan

Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun ini (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :

"Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi'i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi'i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut 'Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar."

Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,"Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,"Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya...."

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :

Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul 'aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka --yakni orang yang datang dari kampung -- telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi'i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat 'Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan 'Ali.

2. Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.

Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.

2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata : "Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,'Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat." [Shallan nabiyyu shallallaahu 'alayhi wa sallama al 'iida tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala man syaa-a an yushalliya falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda : "Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat." [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza 'iidaani, fa man syaa-a ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun] (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda "tsumma rakhkhasha fi al jumu'ati" (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas "man syaa-a an yushalliya falyushalli" (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh "man" sebagai syarat- adalah "barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat."

Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul 'aaliyah) --yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat-- sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) ----yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat-- tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz "man" (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh "man" dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum.

2.2. Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi "innaa mujammi'uun" (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

2.3. Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara' kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda "fa man syaa-a, ajza-a-hu 'anil jumu'ati" (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan'ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : "Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya-- menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied."

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.

3. Meninjau Pendapat Lain
3.1. Pendapat Imam Syafi'i

Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi'i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi'i. Menanggapi pendapat Imam Syafi'i tersebut, Imam Ash Shan'ani dalam Subulus Salam berkata : "Asy Syafi'i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan'ani) berkata,'Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah...maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)..."

Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi'i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu'ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan'ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi'i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi'i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut --secara mutlak-- tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I berkata : "...(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha... "

Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi'i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar'i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan'ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar'i.

3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : "Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, 'Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara', maka wajib merujuk kepadanya..."

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi'i. Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar'i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat menurut kami.

3.3. Pendapat 'Atha bin Abi Rabah
'Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat 'Ashar.
Imam Ash'ani menjelaskan bahwa pendapat 'Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya : "Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar." ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin waahidin, fajamma'ahumaa fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid 'alayhaa hattaa shallal 'ashra]
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.

Demikianlah alasan pendapat 'Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan'ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan'ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.

Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan'ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra' Mi'raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur.

4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar'i yang ada. Wallahu a'lam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.

Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi'i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan'ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.

Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma'arif. 379 hal.

An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.

----------. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.

Ibnu Khalil, 'Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.

Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.

Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma'arif. 229 hal

Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal.

Thursday, September 23, 2010

Ulama Empat Mazhab Mewajibkan Khilafah

Pada umumnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertanggungjawab melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (mengatur urusan umat).

Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asas mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati iaitu untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum berkaitan khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam mahupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahawa kaum Muslimin wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205). .

Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban berdasarkan pada Ijma’ Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbezaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Manakala penafian berhubung kewajiban ini oleh sebahagian kelompok Qadariah tidak membawa apa-apa makna kerana kewajiban ini adalah didasarkan kepada dalil yang lebih kuat, iaitu Ijma’ Sahabat dan untuk membolehkan perlaksanaan hukum Islam, iaitu ketaatan umat Islam kepada pemimpin lalu menghapuskan kezaliman serta membuang perselisihan yang menjadi sumber kerosakan akibat tiadanya seorang imam.(Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbezaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).

Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).

Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan dengan adanya seorang imam itu merupakan suatu kewajiban, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah tertolak kerana menyalahi Ijma’ Sahabat dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslimin dalam satu masa di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124).

Imam Ibnu Hazm juga mengatakan, “Majoriti Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahawa umat Islam wajib mentaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum syarak yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).

Taqarrub kepada Allah yang Paling Esa

Usaha menegakkan Khilafah Islamiyah termasuk dalam aktiviti taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang Paling Esa. Syeikul Islam Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan (imârah) sebagai sebahagian dari agama dan landasan untuk bertaqarrub kepada Allah. Taqarrub kepada Allah dalam hal imârah (kepemimpinan) yang dilakukan dengan cara mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah sebahagian dari taqarrub yang paling utama.” (Imam Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 161).

Al-’Allamah Ibnu Hajar al-Haitami juga menyatakan, “Ketahuilah juga bahwa para Sahabat ra. seluruhnya telah berijma’ bahawa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai urusan yang paling penting. Buktinya, para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara ini dibandingkan dengan menguruskan jenazah Rasulullah SAW. Perselisihan mereka dalam hal penentuan (siapa yang berhak menjadi imam) tidaklah merosak ijma’ yang telah disebutkan tadi.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

Malangnya, majoriti umat Islam sekarang lebih menyibukkan diri dengan amalan-amalan sunat, seperti zikir jama’i, aktiviti sedekah, shalat dhuha, puasa sunat dan lain-lain dibandingkan dengan melibatkan dirinya dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah. Lebih menyedihkan lagi, sebahagian mereka menganggap perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah tidak penting berbanding amalan-amalan sunat tersebut. Malahan mereka juga menganggap para pejuang Khilafah sebagai orang-orang yang tidak memiliki ketinggian ruhiyah dan akhlaq. Walhal menegakkan Khilafah Islamiyah dan terlibat dalam aktiviti ini termasuk dalam golongan yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah yang paling Esa.

Berdirinya Khilafah: Janji Allah

Ulama empat mazhab juga telah menyatakan bahawa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT kepada orang-orang Mukmin. Al-Quran telah menyebutkan janji ini (tegaknya kekhilafahan Islam) dengan jelas dan terang. Allah SWT berfirman;

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa" .(QS an-Nur [24]: 55).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan, “Inilah janji dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW, bahawa Allah SWT akan menjadikan umat Nabi Muhammad SAW. sebagai khulafâ’ al-ardh; yakni pemimpin dan pelindung kepada umat manusia. Dengan merekalah (para khalifah) akan memelihara negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, VI/77).

Imam ath-Thabari juga menyatakan, “Sesungguhnya Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan bukan Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Sesungguhnya, Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya.” (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XI/208).

Janji besar ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman dan beramal soleh pada generasi para Sahabat sahaja, malahan berlaku juga sepanjang masa bagi orang-orang Mukmin yang beramal soleh. Imam asy-Syaukani berkata, “Inilah janji dari Allah SWT kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal soleh tentang Kekhilafahan bagi mereka di muka bumi, sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa kepada orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji di dalam ayat tersebut hanya berlaku bagi Sahabat sahaja. Sesungguhnya, pendapat seperti ini tidak memiliki asas sama sekali. Alasannya adalah iman dan amal soleh tidak hanya dikhususkan pada Sahabat sahaja, namun ia juga boleh diraih oleh setiap generasi umat Islam sesudah mereka.” (Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/241).

Berdasarkan huraian para ulama di atas, dapatlah disimpulkan bahawa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT. Ini bererti bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan ditegakkan dengan izin Allah SWT. Seorang Muslim wajib meyakini bahawa Khilafah Islamiyah pasti akan ditegakkan kembali. Seorang Muslim tidak dibenarkan sama sekali menyatakan bahawa perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah satu bentuk perjuangan uthopia, khayalan, mustahil, kenangan sejarah dan sebagainya. Kenyataan-kenyataan seumpama itu merupakan satu bentuk keraguan terhadap janji Allah SWT. Al-Quran telah menyatakan dengan jelas, bahawa janji Allah SWT pasti ditunaikan:

"Langit pun menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Janji Allah pasti terlaksana" (QS al-Muzammil [73]: 18).

"Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS ar-Rum [30]: 6).

Oleh itu, bersegeralah melibatkan diri dalam perjuangan yang penuh kemulian dan keberkatan ini. Benar, perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah merupakan perjuangan penuh kemulian dan keberkatan .Oleh itu, inilah perjuangan yang direstui, yang dinyatakan oleh para ulama mu’tabar, dan dinaungi oleh janji Allah SWT, yang mana ia akan membuahkan kejayaan lalu menjadi sebab tertegaknya hukum-hukum Allah SWT secara syâmil, kâmil dan mutakâmil.

Wallâh al-Muwaffiq ilâ Aqwam ath-Thâriq.

Sumber: Hizbut Tahrir Indonesia

Monday, September 20, 2010

KESESATAN DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM..

Bencana besar telah menimpa umat Islam saat ini ketika mereka berpaling dari Islam dan memilih demokrasi. Umat Islam yang sebagian besar kurang paham dalam ajaran agamanya, telah disesatkan oleh para pemimpin yang dianggap sebagai ulama. Mereka yang dianggap ulama telah melakukan pendustaan terhadap umat dan agama Islam dengan mengatakan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam.. Apakah ulama tersebut tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang demokrasi???



Islam adalah ad-Dien (sistim hidup) yang sempurna.. Tidak ada satu urusan manusia yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia, yang tidak diatur Islam. Segala sesuatu yang akan membawa kebaikan kepada manusia, telah disampaikan Allah lewat Rasul-Nya. Tidak ada satu hal yang akan membawa keburukan, tidak diperingatkan dan dicegah oleh Allah lewat Rasul-Nya.



Sebagai Sang Pencipta, Allah adalah Zat yang paling tahu akan hakikat manusia dan alam semesta. Setelah Allah menciptakan manusia dan menempatkan makhluk-Nya yang bernama manusia di dalamnya, mustahil kalau Allah tidak membuat aturan untuk mengelola alam semesta dan manusia. Maka Allah menciptakan aturan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan alam semesta.



Aturan itu bernama Islam. Tentu Islam adalah aturan yang paling cocok untuk mengatur alam semesta dan manusia, karena, manusia, alam semesta, dan Islam adalah ciptaan Allah SWT. Alam semesta yang diciptakan oleh Allah ini tentu akan menjadi damai, baik, dan teratur kalau diatur dengan aturan penciptaNya.



Namun sangat disayangkan banyak orang yang mengaku Muslim tidak memahami akan hal ini, sehingga mereka memilih aturan lain selain aturan Allah untuk mengatur kehidupannya. Salah satu sistim hidup yang digandrungi dan dipuja oleh manusia pada saat ini adalah demokrasi.



Dan sungguh memilukan ketika umat Islam yang telah diberikan oleh Allah : Dien yang sempurna, berpaling dari Islam dan memilih demokrasi sebagai sistim hidupnya. Sebagian besar (hampir seluruh) umat ini yang tertipu dengan demokrasi. Mereka beranggapan bahwa demokrasi adalah ajaran Islam.



Sekiranya mau mempergunakan akalnya dan mata hatinya tidak buta, tentu mereka yang mangaku cendikiawan Muslim tidak akan mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam.



Antara demokrasi dan Islam dari segi makna, sumber ajaran, dan hakikatnya, jelas berbeda. Lalu dari mana mereka itu mengatakan bahwa demokrasi sama dengan Islam.



Dan barang siapa mencari agama (ad-Dien/tuntunan hidup) selain Islam, maka tidak akan diterima. Dan di akhirat , dia termasuk orang yang rugi. (QS: Ali Imran (3) : 85).



Mari kita analisis secara jernih dan jujur bahwa antara Islam dan demokrasi saling bertentangan.





Pertama :



Secara bahasa , demokrasi berasal dari bahasa Yunani. Dari kata ‘Demos” dan “Kratos” demos artinya rakyat, sedangkan kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan. Maknanya adalah pemerintahan/ kekuasaan rakyat. Pada prakteknya adalah suatu pemerintahan yang dijalankan dengan kehendak rakyat (mayoritas rakyat). Maka sistim kekuasaan yang berlaku, hukum undang-undang, program penguasa suatu Negara ditentukan oleh suara mayoritas rakyat atau wakilnya. Adapun makna Islam secara bahasa berarti masuk dalam kedamaian, sedangkan secara syara, Islam berarti pasrah kepada Allah. Betauhid dan tunduk kepada-Nya. Taat dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya. Maka itu jelas dalam Islam : ketundukan , ketaatan, dan kepatuhan adalah hanya kepada Allah, termnasuk dalam menjalankan pemerintahan, politik, hukum, dan undang-undang.



Dalam Islam, hukum adalah hak Allah untuk membuat dan menentukannya. Dalam demokrasi membuat hukum ada di tanagan rakyat atau wakilnya, yaitu anggota legislative. Jadi sangat jelas bahwa Islam bertolak belakang dengan demokrasi. Ini bisa dilihat oleh setiap orang yang memilili mata kecuali orang buta.





Kedua :



Demokrasi bersumber dari akal manusia. Peletak dasar demokrasi adalah Jean Jasques Russao, orang Rusia, yang kemudian disempurnakanoleh Montesque dengan ajaran trias politika. Dalam Trias Politica disebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga yaitu : Legislatif sebagai pembuat undang-undang, Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, Yudikatif sebagai pengawas undang-undang.



Adapun Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan perantara malaikat Jibril As. Dalam Islam yang membuat undang-undang adalah hak Allah SWT. Undang-undang itu dilaksanakan oleh manusia.



Demokrasi berasal dari pikiran manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Sedangkan Islam, berasal dari Allah yang maha sempurna. Bagaimana mungkin keduanya sama?





Ketiga :



Dalam demokrasi orang bebas untuk memilih agama dan berpindah agama, sehingga tidak mengapa bila seorang Muslim murtad, berpindah agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya. Dalam Islam orang yang berpindah agama (murtad) hukumannya adalah dibunuh.



Seperti sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah!!!”



Islam tidak memaksakan orang untuk menjadi muslim, namun ketika seorang sudah masuk Islam, dia harus taat dan tunduk pada perintah serta ajaran Islam, dan dia tidak boleh keluar dari Islam.



Dalam ajaran demokrasi , setiap orang yang beragama apa saja tidak disebut kafir. Dalam Islam, orang yang beragama selain Islam disebut kafir.





Keempat :



Manusia mempunyai kedudukan yang sama derajatnya dalam demokrasi, baik kafir maupun muslim (namum kenyataannya nagara pengusung demokrasi (Barat) merasa superior, dari bangsa lainnya) dalam Islam, orang Muslim (beriman) lebih mulia derajatnya dari orang kafir.



Sebagaimana firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati. Sebab kamu paling tinggi derajatnya jika kamu orang beriman” (QS Ali Imran (3):139).





Keempat hal di atas adalah sebagian kecil pertentangan antara Islam dan demokrasi. Adapun yang perlu diperhatikan adalah hakikat dari ajaran demokrasi. Hakikat dari ajaran demokrasi adalah pemberian kekuasaan kepada mayoritas rakyat atau wakilnya untuk membuat hukum atau undang-undang. Dimana hukum atau undang-undang yang telah disepakati oleh para wakil rakyat akan ditaati dan dijunjung tinggi oleh rakyat. Setiap orang yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang tersebut.



Sedangkan dalam ajaran Islam yang berhak untuk menetapkan hukum adalah Allah, dan Allah juga yang mentapkan sanksinya terhadap orang yang melanggar hukum-Nya. Oleh kerana itu, demokrasi adalah kemusyrikan, karena menyerahkan hak Allah (membuat hukum) kepada manusia. Bahkan yang lebih celaka, hukum yang dibuat oleh para anggota legislatif ada kalanya menghalalkan yang diharamkan oleh Allah. Seperti membolehkan pelacuran pada tempat tertentu yang diatur undang-undang. Membolehkan penjualan dan pembuatan khamr (miras) pada tempat yang berizin.



Adalah suatu anggapan yang salah kalau dikatakan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam. Dalam demokrasi, segala sesuatu diputuskan dengan musyawarah, musyawarah diajarkan dalam Islam.



Benar kalau dikatakan Islam mengajarkan musyawarah. Tetapi bukan berarti Islam sesuai dengan demokrasi. Dalam Islam, hukum telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak ada hak bagi manusia untuk membuatnya. Yang dimusyawarahkan dlama Islam adalah persoalan-persoalan tekhnis (cara) dalam melaksanakan perintah Allah, manakala persoalan tekhnis itu belum ditetapkan caranya oleh Allah SWT. Tidak semua urusan harus dimsyawarahkan dalam Islam..



Sebaliknya, demokrasi mengajarkan segala hal harus diputuskan dengan musyawarah. Termasuk hal-hal yang hukumnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan menentukan halal, haram, baik dan buruk yang semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah SWT, masih dimusyawarahkan. Sekiranya kita masih meyakini Islam adalah ajaran yang benar dan sempurna.

Saturday, September 18, 2010

Allah Hanya Menerima yg Baik

Hai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukmin apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman (artinya), “Hai para Rasul, makanlah dari sesuatu yang baik dan berbuat salehlah…” Dia juga berfirman (artinya), “Hai orang-orang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah kami karuniakan kepada kalian.” Lalu Rasul saw. menyebutkan seorang laki-laki yang telah melakukan perjalanan jauh dalam rangka ketaatan dan ibadah rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berseru. “Ya Rabb, ya Rabb,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan yang haram. Bagaimana bisa permintaanya akan dikabulkan?” (HR Muslim, al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Abd ar-Razaq)

Hadis ini dikeluarkan oleh Abd ar-Razaq dari ats-Tsauri; Imam Ahmad dari Abu an-Nadhr; Imam Al-Bukhari di dalam “Raf’u al-Yadayn” dan ad-Darimi dari Abu Nu’aim; Imam Muslim dari Abu Kuraib Muhammad ibn al-‘Ala`, dari Abu Usamah; dan at-Tirmidzi dari Abd ibn Humaid dari Abu Nu’aim. Keempatnya (Sufyan ats-Tsawri, Abu an-Nadhr Hasyim ibn al-Qasim, Abu Nu’aim al-Fadhl ibn Dukain dan Abu Usamah Hamad ibn Usamah) dari Fudhail ibn Marzuq dari ‘Adi ibn Tsabit dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra.

Hadis ini menjelaskan empat poin.

Pertama: bahwa Allah SWT adalah thayyib, yaitu suci dari segala kekurangan dan aib. Allah SWT hanya akan menerima yang baik-baik saja, apakah itu perbuatan, perkataan, keyakinan maupun harta. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan ikhlas semata untuk Allah SWT, dilakukan sesuai tuntunan syariah, dan bebas dari hal-hal yang merusaknya seperti riya dan ujub. Harta yang baik (mâl thayyib) adalah harta yang halal lagi baik. Allah SWT tidak menerima sedekah, infak, penunaian kewajiban seperti nafkah, zakat dsb, dari harta yang haram. Rasul pernah bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ

Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (dari hadats dan najis) dan juga tidak menerima sedekah dari harta haram (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Kedua: Allah SWT memerintahkan kaum Mukmin seperti yang diperintahkan kepada para rasul, yaitu untuk makan dari harta yang thayyib dan beramal salih. Yang diperintahkan adalah makan dari rezeki yang thayyib. Artinya, kehalalan itu harus diperhatikan bukan hanya pada makanannya saja, tetapi juga pada harta yang digunakan untuk membeli atau mendapatkan makanan itu. Makanan yang thayyib itu adalah makanan yang halal dan tidak membahayakan.

Makan dari rezeki yang thayyib dan beramal salih dikaitkan dengan huruf wawu ‘athaf mengisyaratkan adanya hubungan antara kehalalan makanan dengan amal salih. Dalam hal ini para ulama mengatakan bahwa makanan haram akan menghalangi atau setidaknya mengurangi diterimanya amal salih. Karena itu, para ulama salaf sangat memperhatikan kehalalan makanan, minuman dan pakaian mereka karena khawatir amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT.

Ketiga: hadis ini menjelaskan sebagian adab berdoa dan kunci dikabulnya doa, yaitu ada empat:

1. Ithâlah as-safar. Safar dalam rangka ketaatan dan ibadah. Ini bisa juga dimaknai, memperbanyak ibadah, ketaatan dan amal salih, lalu bertawasul dengan ibadah, ketaatan dan amal salih itu untuk memohon kepada Allah SWT.
2. Asy’atsa aghbara (berambut kusut dan tubuh berdebu). Bisa dimaknai menampakkan ketundukan, kelemahan, kerendahan keringkihan dan kefakiran di hadapan Allah SWT. Para ulama salaf jika hendak berdoa sengaja menjauhi pakaian indah, ada hiasannya, mahal dan bergengsi. Mereka sengaja memakai pakaian sederhana tanpa hiasan. Kemudian berdoa seraya menampakkan ketundukan, kelemahan, kerendahan, keringkihan dan kefakiran dalam sikap, suara dan ucapan.
3. Mengangkat tangan dengan tatacara sesuai kondisinya seperti yang dijelaskan dalam banyak hadis. Mengangkat tangan ketika berdoa adalah sunnah.
4. Mengawali dan mengulang-ulang sebutan rububiyah Allah SWT (Ya Rabb, ya Rabbi, Rabbiy, Rabbanâ), asmaul husna atau bacaan Allâhumâ (ya Allah).

Keempat: Sebagian penghalang doa. Meski keempat adab dan kunci di atas terpenuhi, doa akan terhalang jika orang yang berdoa itu, makanan, minuman dan pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan sesuatu yang haram. Harta itu mayoritasnya diperoleh dari muamalah. Sayangnya, banyak dari kaum Muslim yang tidak peduli akan kehalalan dan ke-syar’i-an muamalah mereka. Mungkin karena itulah doa kaum Muslim tidak segera dikabulkan oleh Allah SWT; atau jangan-jangan kita termasuk di antaranya?

Maka dari itu, siapa saja yang ingin mustajab doanya, ia harus memastikan makanan, minuman dan pakaiannya adalah halal baik dari sisi zat maupun dari tatacara perolehannya. Dia pun harus memastikan bahwa dia hanya dikenyangkan dengan sesuatu yang halal zat dan tatacara perolehannya. Itulah pesan Rasul saw., kunci diijabahnya doa, yang dipegang teguh oleh Saad bin Abi Waqash ra. yang menjadikannya salah seorang di antara sahabat yang mustajab doanya. Satu karamah beliau, setelah berdoa maka beliau dan seluruh pasukannya beserta kuda-kuda dan perlengkapan mereka—kecuali dua orang- ketika futuhat Persia—bisa menyeberangi sungai Tigris layaknya berjalan di atas air.

WalLâh a’lam.

Wednesday, September 8, 2010

MAAF ZAHIR & BATIN

YA ALLAH,di bulan yg mulia ini kami memohon ampunanMu, rahmatMu dan pertolonganMu.Kami beriman kpdMu dan sekali-kali kami tidak akan mengkufuriMu dgn suatu apa-pun.

YA ALLAH, hanya kpdMu lah kami bersujud dan berserah diri ...dan kami BERLEPAS DIRI dari siapa sahaja yg MEMAKSIATI MU. Kami sungguh takut akan azabMu dan kami akan mendambakan Rahmat Mu.

YA ALLAH, Engkau rahmatilah kami dan Engkau azablah org2 KAFIR, org2 MUNAFIK dan siapa sahaja yang MENGHALANGI tegaknya agamaMu dengan sebenar2 azab.

YA ALLAH, dibulan yg mulia ini kami mengadu kpdMu akan kejahatan penguasa2 KUFFAR dan penguasa2 KAUM MUSLIMIN yg tidak BERHUKUM dgn HUKUM MU, yg MENZALIMI dan MENGKHIANATI kaum Muslimin, yg MENGKHIANATI MU dan RASUL MU.

YA ALLAH, Engkau kalahkanlah mereka,hancurkanlah mereka, cerai-beraikanlah hati2 mereka dan porak-perandakanlah kesatuan mereka. Jadikanlah rancangan jahat mereka itu sebagai pembawa KEHANCURAN mereka. Sesungguhnya di tangan Engkaulah kehancuran mereka.

YA ALLAH MAHA RAJA DIRAJA, Engkau berikanlah kekuasaan kpd siapa sahaja yg engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa sahaja yg Engkau kehendaki.Engkau MULIAKAN siapa yg Engkau kehendaki dan Engkau HINAKAN siapa sahaja yg Engkau... kehendaki. Didalam genggaman MU lah seluruh kekuasaan kerana Engkaulah Zat yg MAHA KUASA atas segala sesuatu.

YA ALLAH, kami memohon kpdMu NEGARA KHILAFAH RASYIDAH ALA MINHAJ NUBUWWAH yg dgn nya Engkau MULIAKAN Islam dan seluruh pengikutnya dan Engkau HINAKAN kekufuran dan seluruh pengikutnya.

YA ALLAH, bantulah kami, bantulah saudara2 kami dan bantulah siapa sahaja yg MENOLONG agama Mu. Jadikanlah kami dan mereka sebagai para pejuang yg ikhlas utk menegakkan syariahMu dan KHILAFAH RASYIDAH yg mengikuti SUNNAH NABIMU.

YA ALLAH, bantulah kami didalam MENYATUKAN SELURUH KAUM MUSLIMIN dibawah kepimpinan SEORANG KHALIFAH yg akan menerapkan KITABMU dan SUNNAH RASUL MU.

YA RABBAL IZZATI, JADIKANLAH HARI RAYA INI YG TERAKHIR KAMI MENYAMBUTNYA TANPA DAULAH KHILAFAH. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik penolong wahai ZAT YG MAHA MENDENGAR dan MAHA KUASA.

AMINNN..

Saturday, August 21, 2010

RAMADHAN

Ramadhan : Ibadah & Syiar penyatuan Umat.

Sbb syari’ dimulai & diakhiri Ramadhan adlh Ru’yah al-hilal. Dalil: Firman Allah SWT;

“Maka siapa saja di antara kamu menyaksikan bln itu,maka hendaklah ia berpuasa akannya” (TMQ: al-Baqarah:185). Ra...sul saw bersabda; “Berpuasalah kamu krn melihatnya(hilal) dan berbukalah kamu (raya) krn melihatnya(hilal). Apabila pandangan kamu terhalang,maka sempurnakanlah bilangan bln sya’ban menjadi 30 hr”. (HR Bukhari). Lafadz “siapa saja diantara kamu”, “berpuasalah kamu” adlh umum bg seluruh umat Islam. Secara hkm, tidak ada bezanya muslim Indonesia Vs M’sia, Syria Vs Libya, asia timur, asia barat @ asia tenggara.
Persoalan mathla’(tempat terbit bulan) secara syara ada 2 pendapat:

1)Jumhur ulama’ : 1 dunia 1 mathla’.
2) Madzhab Syafii : mathla’ tempatan (1 mathla’= 24 farsakh= 133 KM radius) dan BUKAN brasaskan negeri2.

Realitinya, berlaku perbezaan bg umat Islam dlm penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal & 10 Zulhijjah. Dan perbezaan itu selisihnya bkn sehari,bahkan 2@3 hari. Sesungguhnya perbezaan2 yg berlaku bukan sbb perbezaan mathla’ Imam Syafii, tapi akibat penyakit Nasionalisme & Negara Bangsa akibat penjajahan. Inilah punca umat Islam berbeza ketika menyambut 1 Ramadhan @ 1 Syawal…(mathla’ ashobiyyah).

Fakta yg perlu & wajib kita faham:

1)Allah cipta bumi dgn bulan yg satu…setiap bulan,anak bulan keluar hanya 1x saja.
2)Bukankah,malam bg setiap wilayah itu sama. Dan dua titik paling jauh dimuka bumi…perbezaannya <@= 12jam.
3)Malam Lailatul Qadar belaku 1 mlm saja…menurut hadith, berlakunya 10 mlm terakhir pd mlm ganjil. Kalau tak sama 1 Ramadhan = tidak sama ganjil @ genapnya. Di Asia Barat mlm ganjil, sedangkan d M’sia mlm genap… muslim arab dpt mlm Lailatul Qadar, melayu M’sia dpt mlm ?????
perkara yg selalu d propagandakan adlh…penentuan puasa & raya berdasarkan Rukyah & Hisab. Berkenaan dgn hisab, pendapat jumhur ulama’ (termasuk Imam Syafii) menyatakan; Hisab BUKAN penentu awal & akhir Ramadhan.

Dalil drpd HR Bukhari/Muslim mempunyai makna & maksud yg jelas :

“Berpuasalah kamu krn melihatnya (hilal), dan berbukalah kamu (raya) krn melihatnya (hilal)”. jika hilal terhalang… “sempurnakanlah hitungan”. (jika Sya’ban 30 hr. jika Ramadhan 30 hr). sesungguhnya kaedah hisab yg diguna pakai selama ini BUKAN kaedah hisab berpandukan Hadith , tetapi kaedah hisab astronomi (ilmu falak) yg dah disetkan awal tahun dan dah bertahun2… umat tidak memperdulikan persoalan hukum ini.

Puasa & Raya bkn ibadah ritual semata2, ia adlh syiar penyatuan umat, bkn lambang perpecahan umat Islam. Bumi dgn bulan yg 1, umat Islam adlh umat yg 1…. Pelik b ajaib, 1 Ramadhan & 1 Syawal tak boleh sama!!. Tapi utk 1 Januari, (tahun baru)..detik 12mlm boleh sama (beza jam saja). Fahami & fikir2kan… jgn kita termasuk dlm golongan yg rasanya melakukan kewajiban, tetapi kelalaian & keharaman; Lalai (org dah puasa, kita belum lagi). Haram (org dah raya, kita masih puasa lagi). Gunakanlah ICT utk maklumat terkini berkenaan puasa dan raya. Wassalam.

Saturday, July 10, 2010

PERJALANAN SINGKAT RASULULLAH SAW....Dimanakah kita??

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya(dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya”. [TMQ At Taubah(9):33]

"Sesungguhnya pada (diri) RasuluLlah itu menjadi contoh yang paling baik untuk (menjadi ikutan) kamu". (Al-Ahzab 33 :21)


Bagi kaum Muslim, Rasulullah saw. jelas menempati tempat yang sangat istimewa. Betapa tidak, Rasulullah saw. telah menyelamatkan umat manusia dari kehancurannya dengan membawa risalah Islam dari Allah Swt. Dengan risalah yang diperjuangkan, diemban, dan diterapkan oleh Rasululllah saw, Islam hadir di tengah-tengah manusia. Rasulullah saw. adalah pemimpin segala bidang. Ia pemimpin umat di masjid, di dalam pemerintahan, juga di medan pertempuran. Ia tampak seperti psikolog yang mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi beradab. Ia juga seorang politikus yang berhasil menyatukan suku-suku bangsa hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad. Ia juga pemimpin ruhani yang melalui aktivitas peribadahannya telah mengantarkan jiwa pengikutnya ke alam kelezatan samawiyah dan keindahan suasana ilahiah. Bahkan sahabat sendiri sulit menceritakan bagaimana kemuliaan sosok Rasulullah saw. Saat seorang Yahudi datang menemui Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah, Umar tidak mampu menjawabnya dan menyuruh Yahudi itu menemui Bilal ra. Bilal pun sama. Dia menyuruh Yahudi itu mendatangi Ali bin Abi Thalib yang sejak kecil sudah mengenal Rasulullah saw., bahkan ia sering tidur bersama beliau. Ali malah balik bertanya kepada Yahudi itu, “Lukiskanlah keindahan dunia ini, akan aku gambarkan kepadamu akhlak Nabi Muhammad saw.” Laki-laki itu menyatakan, ia tidak sanggup. Ali pun menukas, “Kamu tidak mampu melukiskan keindahan dunia ini, padahal Allah Swt. telah menyaksikan betapa kecilnya dunia ini ketika Dia berkata:
Katakanlah: keindahan dunia ini kecil. (QS an-Nisa’ [4]: 77).”

Artinya, menggambarkan keindahan dunia yang sebenarnya kecil ini saja sulit, apalagi menggambarkan keluhuran dan kemuliaan Rasulullah saw. Teringat kami sebuah kisah, diwaktu ajal baginda sudah semakin hampir, Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku" Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Ayoh kita renung-ranungkan, sejauh mana keadaan ummat islam hari ini, Sejauh mana cintanya ummat islam hari ini kepada Rasulnya, yang menyebut-nyebut ummati-ummati-ummati. Ummatku, ummatku, ummatku. Kita fikirkan dimanakah DIri kita, dimanakah sifat kasih kita, sifat cinta kita kepada Rasulullah yang mensyariatkan Islam, menegakkan Islam, berjuang memenangkan Islam, dimanakah pula diri kita sewaktu saudara kita meminta pertolongan, dimanakah diri kita sewaktu agama ini lemah, longlai, di injak, di herdik, tanpa pembelaan, dimanakah kita sewaktu wanita menjadi mangsa exploitasi kapitalisma yang menggigit, dan mencengkam.? Dimanakah kita sewaktu Rasulullah di hina? Dimanakah kita sewaktu agama ini memerlukan para mujahid, para kawafilud du’at, para penyambung risalah baginda untuk kembali ia dimenangkan? Ayoh saudaraku!! Ayoh Para pejuang-pejuang Islam! Ayoh para muslimin dan muslimat! Kita kembali kepada islam! Kembali menuruti syariatnya! Kembali kepada fitrahnya!!! Sebelum waktunya terlambat!!!!